Pemerintah, DPR Setujui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Disahkan di Paripurna
By Admin
Dari sembilan fraksi hanya PKS yang menolak RUU itu
nusakini.com - Jakarta - Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah pada Rabu (6/4) menyepakati draf rancangan undang-undang tentang kekerasan seksual dalam rapat pleno yang oleh legislator dan aktivis hak perempuan disebut sebagai tonggak sejarah dalam upaya mencegah kejahatan seksual.
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disetujui oleh delapan dari sembilan fraksi yang ada di DPR dan selanjutnya akan dibawa ke sidang paripurna yang dijadwalkan 14 April untuk disahkan menjadi undang-undang.
“Apakah rancangan undang-undang tentang tindak pidana kekerasan seksual ini bisa kita setujui untuk diteruskan dalam sidang paripurna untuk pembicaraan tingkat II?” ujar Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas dalam penghujung rapat pleno.
Pertanyaan tersebut, kemudian dijawab: “Setuju!” oleh para peserta rapat, diikuti dengan ketukan palu oleh Supratman.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menginginkan dimasukkannya juga aturan pelarangan hubungan seksual di luar nikah dan juga pelarangan perilaku hubungan sesama jenis menjadi satu-satunya partai yang menolak pengesahan legislasi itu.
Turut hadir sebagai wakil pemerintah yaitu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej.
RUU ini mengatur pelaku kekerasan seksual untuk dijerat pasal pidana dengan hukuman maksimal penjara 15 tahun dan denda sebanyak Rp 1 miliar. Sementara para korban kekerasan seksual bisa mendapatkan hak untuk pemulihan psikologis dan pendampingan korban.
Menurut RUU ini tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, dan pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan pelecehan seksual berbasis elektronik.
Menteri Bintang berterima kasih kepada semua pihak yang mengawal proses ini sampai dengan selesai.
“Kami menyetujui dan menyambut baik atas diselesaikannya pembahasan RUU TPKS untuk diteruskan pada pembicaraan tingkat dua dan untuk diambil keputusan dalam rapat paripurna DPR RI,” kata Bintang.
“Hadirnya UU ini nantinya merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, menciptakan lingkungan tanpa kekerasan seksual serta menjamin ketidak berulangan terjadinya kekerasan seksual," ujar Bintang.
Berdasarkan data Kementerian PPPA, terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa sepanjang tahun 2021. Dari jumlah tersebut, 1.563 diantaranya merupakan kekerasan seksual. Kekerasan seksual juga tercatat terjadi kepada anak, dari 14.517 kasus kekerasan anak, sebanyak 6.547 kasus (45,1 persen) diantaranya adalah kasus kekerasan seksual pada anak.
Pembahasan RUU ini sempat mandek enam tahun lamanya akibat pro-kontra di dalam tubuh DPR sendiri, khususnya dari Fraksi PKS yang menuntut dimasukkannya pembahasan perzinahan dan masalah perilaku seksual sesama jenis di dalam rancangan itu.
Awal Januari lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memerintahkan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk segera bekerja membahas RUU dengan DPR.
PKS menolak
Fraksi PKS meminta pengesahan RUU ditunda.
"Kami fraksi PKS menolak RUU TPKS untuk disahkan menjadi undang-undang dan dilanjutkan ke tahap berikutnya," ujar anggota PKS Al Muzzamil Yusuf dalam rapat.
Menurutnya, RUU ini belum mengatur masalah perzinahan dan apa yang dia sebut sebagai “penyimpangan seksual” seperti hubungan tanpa nikah antara laki-laki dan perempuan dan perbuatan seksual sesama jenis.
Dia mengusulkan pembahasan RUU TPKS ini dilakukan bersama dengan Rancangan KUHP untuk “sinkronisasi seluruh tindak pidana kesusilaan yang meliputi segala bentuk kekerasan seksual, perzinahan dan ‘penyimpangan seksual’.
Sementara itu anggota DPR dari Partai Nasdem, Taufik Basari menyambut baik selesainya pembahasan RUU ini.
“Kami menilai pengambilan keputusan ini merupakan tonggak baru dalam kehadiran negara dalam merespon kondisi Indonesia,” ujar dia.
Pemenuhan hak korban
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi kemajuan pembahasan RUU TPKS yang menunjukkan komitmen untuk memastikan pemenuhan hak korban, memutus impunitas pelaku dan pencegahan kekerasan seksual.
“Komnas Perempuan akan terus mengawal hingga pengesahan RUU TPKS, agar perlindungan mumpuni bagi korban bisa diperoleh melalui payung hukum ini, termasuk untuk perempuan korban pemerkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani kepada BenarNews.
Selain itu, pihaknya berpendapat bahwa menggantungkan perbaikan cakupan perkosaan di Rancangan KUHP bisa menghadirkan kerugian bagi korban karena pengesahan Rancangan KUHP bisa jadi membutuhkan waktu lebih lama daripada target pemerintah.
Kondisi Indonesia disebut sebagai darurat kekerasan seksual karena maraknya tindak kekerasan seksual baik terhadap perempuan ataupun anak.
Kasus yang baru-baru ini terjadi adalah perkosaan oleh guru pesantren bernama Herry Wirawan terhadap 13 santriwati berusia rentang 14-20 tahun sejak 2016 silam sampai sembilan diantara korban memiliki bayi.
Atas tindakan tersebut, Herry dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung pada Senin (4/4) setelah jaksa melakukan banding atas putusan pengadilan negeri yang menghukumnya seumur hidup. (sumber: benarnews.org)